by Annas Baihaqi (PRiADI Certified Counselor)
Di tulisan sebelumnya kita sempat mengulas tentang eksistensi kebajikan atau karakter positif manusia menurut kacamata psikologi. Bagi teman-teman yang belum sempat membaca bisa menyimaknya di link berikut: Karakter Positif dalam Kacamata Psikologi.
Seperti yang kita tahu kebajikan dinilai sebagai sejumlah karakter atau sifat yang berdampak positif bagi individu yang memilikinya. Bila kita kekurangan salah satu dari sifat bajik ini maka seperti ada yang tidak utuh dari nilai positif kita sebagai manusia. Hal ini akan mempengaruhi perilaku kita sehari-hari bahkan bisa berdampak pada relasi kita dengan orang lain. Kurangnya sifat ramah (kind) akan berdampak pada penilaian orang lain terhadap kita yang dinilai kurang ramah (unkind). Atau kurangnya sifat rendah hati (humility) bisa saja berdampak pada diri kita yang dianggap sombong atau tinggi hati (arrogant). Dan masih banyak contoh-contoh lainnya.
Namun yang jadi pertanyaan, apabila kita memiliki salah satu sifat positif tersebut secara berlebihan apakah selalu berdampak positif?
Jawabannya belum tentu bahkan boleh jadi memiliki dampak yang kurang baik.
Sebagai analogi, kita tahu bahwa glukosa adalah sumber energi utama yang baik bagi tubuh manusia. Namun jika kadar glukosa yang masuk ke dalam tubuh terlalu berlebihan, kita pun tahu dampak buruk apa yang mungkin terjadi. Begitu pula ketika kita bicara soal sifat, karakter & perilaku. Sesuatu yang awalnya bisa jadi memiliki dampak positif namun ketika kualitas levelnya melampaui batas akan ada dampak-dampak negatif yang mungkin muncul.
Golden Mean (Titik Ideal)
Source: Who was Aristotle
Bicara mengenai kebajikan dan karakter positif manusia sebetulnya sejak puluhan abad yang lalu sudah menjadi substansi kajian para filsuf bahkan jauh sebelum Martin Seligman (pelopor psikologi positif) mencetuskan idenya dalam karya Character strengths and virtues. Pembicaraan soal etika dan filsafat moral sudah menjadi bagian yang lazim dari eksisnya sebuah peradaban manusia. Seperti konsep moralitas yang lahir dari berbagai tradisi agama dan kultur yang berkembang di masyarakat (society).
Salah satu filsuf yang terkenal mencetuskan idenya tentang etika dan filsafat moral adalah Aristoteles (384-322 SM).
Pada tahun 350 SM, Aristoteles mengemukakan teori terkait etika dan moralitas melalui karya terkenalnya, Nicomachean Ethics. Dalam karya tersebut ia menyebutkan adanya konsep Golden Mean yang bisa diartikan sebagai titik ideal atau pijakan dari moralitas yang baik.
Menurutnya sifat kebajikan atau kebaikan moral terletak pada sikap atau perilaku yang berada diantara dua sifat ekstrim yang berlawanan. Apabila terlalu lemah akan menyebabkan defisiensi sebuah aspek moralitas. Begitupun jika terlalu kuat akan menyebabkan dampak yang juga kurang baik. Sehingga titik tengah dinilai sebagai titik yang ideal.
Sebagai contoh, keberanian adalah bagian dari sifat kebajikan, tetapi keberanian yang berlebihan bisa menyebabkan seseorang ceroboh dan nekat dalam bertindak. Sementara keberanian yang melemah akan menjadikan seseorang menjadi penakut dan kehilangan segala kesempatan. Jadi keberanian yang sesuai adalah yang berada di tengah diantara dua sifat ekstrim tersebut yang merupakan titik ideal atau emas, Golden Mean.
Melalui konsep Golden Mean ini, Aristoteles mampu menentukan pada titik mana sebuah sifat bisa disebut sebagai sifat kebajikan (virtue) diantara dua sifat ekstrim berlawanan yang dinilai buruk (Vice), baik karena defisiensi (lemah) ataupun excess (berlebihan). Hal ini seperti yang bisa kita lihat pada prinsip sifat kebajikan dan keburukan yang dipaparkan oleh Aristoteles, berikut:
Dari sejumlah sifat atau karakter yang diutarakan Aristoteles di atas bisa disimpulkan bahwa pada level Golden Mean (titik ideal) maka sikap seseorang bisa dikategorikan baik, tidak berlebihan maupun kekurangan. Sebagai contoh dalam perilaku konsumtif sikap liberality (dermawan) dinilai lebih baik dibandingkan sikap meanness (pelit) ataupun prodigality (boros). Dalam mengelola amarah sikap good temper (emosi yang stabil) lebih baik dibandingkan sikap lack of spirit (tidak berdaya) maupun irascibility (cepat marah). Dan masih banyak contoh lainnya.
Konsep Golden Mean ini sebetulnya tidak hanya dikenal dalam konsep moralitas milik Aristoteles namun juga tereksplorasi dalam karya Character strengths and virtues milik Martin Seligman, dkk. Enam aspek kebajikan yang diikuti oleh 24 karakter positif manusia juga mampu mengeksplorasi lebih dalam tentang karakter mana yang dianggap sebagai titik ideal atau yang mereka sebut sebagai karakter positif (strength). Dan mana yang dianggap kurang ideal karena terlalu lemah (deficiency) ataupun berlebihan (excess), seperti yang bisa kita lihat pada tabel berikut:
Dari tabel di atas dapat dipahami bahwa kolom biru merupakan sejumlah karakter atau sifat yang positif (strength) sementara kolom hijau di sampingnya adalah sifat yang melemah (deficiency) dan kolom merah adalah sifat yang berlebihan (excess). Sebagai contoh rasa keingintahuan (curiosity) adalah salah satu sifat positif yang membuat kita haus akan pengetahuan dan wawasan. Namun jika berlebihan akan menjadi rasa ingin tahu yang berlebihan (nosiness), kita terobsesi begitu besar pada keingintahuan tersebut, boleh jadi melanggar batasan etika. Di sisi lain jika terlalu lemah maka membuat kita kurang minat (disinterest) atau tidak peduli pada rasa ingin tahu untuk mempelajari suatu hal.
Contoh lainnya, kerjasama (teamwork) adalah sifat positif yang membuat kita bisa membangun koneksi dan ikatan yang baik dengan anggota kelompok. Namun jika berlebihan membuat kita memiliki sikap mendukung secara berlebihan superioritas kelompok yang kita anut (chauvinism), membuat kita terlalu mudah setuju, terprovokasi kepentingan kelompok dan tidak mampu bersikap netral. Sementara jika melemah membuat kita cenderung egois (selfishness), terlalu memperhatikan kepentingan diri sendiri tanpa memperhatikan orang lain di dalam kelompok. Dan masih banyak contoh-contoh lainnya.
Kesimpulannya melalui konsep Martin Seligman di atas dapat dipahami bahwa sifat positif (strength) sama seperti titik ideal (Golden Mean) yang diutarakan oleh Aristoteles, mereka berada diantara dua sifat yang ekstrim berlawanan. Dinilai lebih ideal dan berdampak baik sebab tidak kekurangan (deficiency) maupun berlebihan (excess).
Lantas pertanyaan selanjutnya, apakah tes PRiADI mampu mengukur sejauh mana kecenderungan sifat atau karakter seseorang bisa disebut ideal dan berdampak baik? Dan sejauh mana karakteristik tersebut dianggap kurang ideal (vice)?
Jawabannya iya, tes PRiADI berupaya membantu menganalisis pada tingkat mana sejumlah karakter psikologis atau kecenderungan perilaku tertentu tergolong baik dan ideal, dan pada tingkat mana kecenderungan tersebut tergolong jauh dari ideal.
Melalui proses big data analytics dan statistik, PRiADI berhasil melakukan analisis hubungan pola sidik jari tertentu dengan berbagai aspek psikologis sehingga dapat ditentukan nilai rata-rata (mean) dari sebuah karakter atau perilaku tertentu (traits). Tidak sampai di situ, namun juga membuat penilaian normatif pada level mana karakter tersebut bisa dianggap positif (ideal) dan pada level mana karakter tersebut jauh dari ideal sehingga memiliki dampak yang perlu diantisipasi. Level-level tersebut ditunjukkan dengan konsep pewarnaan pelangi (rainbow model assessment) sehingga mempermudah kita dalam memahami hasil tes.
Misalkan ketika nilai interest in working with details seseorang jatuh pada warna biru (ideal) maka yang bersangkutan dinilai memiliki kecermatan atau kemampuan yang baik untuk mengerjakan sesuatu yang butuh perhatian detail. Yang bersangkutan dinilai seksama, cermat dan hati-hati saat mengerjakan sesuatu yang dianggapnya penting sehingga kualitas pekerjaannya cenderung baik.
Namun apabila levelnya jatuh pada warna ungu (berlebihan) maka menyebabkan seseorang cenderung over-detailed, terlalu rumit dan jelimet dalam menetapkan standar kerja. Memang betul ia bisa memaksakan diri untuk memiliki kualitas kerja yang tinggi. Akan tetapi boleh jadi ia terlalu perfeksionis sehingga kurang toleran pada kesalahan kecil yang diperbuat oleh dirinya atau orang lain.
Namun apabila jatuh pada warna hijau apalagi kuning atau merah (melemah) maka boleh jadi menyebabkan seseorang cenderung kurang teliti dan detail pada pekerjaan. Ia cenderung cepat jenuh dan ingin cepat menyelesaikan sebuah pekerjaan tanpa bersikap hati-hati. Hal ini boleh jadi berdampak pada kecerobohan.
Contoh lain ketika nilai Pace seseorang jatuh pada warna biru (ideal) maka membuat ia memiliki kepekaan terhadap hal-hal penting. Secara mental ia cepat merespon masalah yang dihadapi sehingga tidak mudah menganggap enteng sebuah permasalahan. Hal ini membuat ia cenderung memiliki rasa tanggung jawab pada pekerjaan dan hal-hal penting lainnya.
Akan tetapi apabila jatuh pada warna ungu (berlebihan) maka membuatnya menjadi terlalu serius menghadapi sebuah permasalahan. Boleh jadi menyebabkan dirinya mudah overthinking. Atau seringkali negative thinking (berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan buruk) yang belum tentu terjadi. Hal ini umumnya juga menyebabkan seseorang mudah mengalami kecemasan.
Di sisi lain ketika levelnya jatuh pada warna hijau apalagi kuning atau merah (melemah) maka membuat yang bersangkutan cenderung mudah menganggap santai sebuah permasalahan. Ia cenderung lambat merespon atau kurang peka pada pemasalahan yang dihadapi. Sehingga cenderung membiarkan permasalahan terjadi tanpa adanya solusi atau penyelesaian.
Dan masih banyak aspek-aspek lainnya yang bisa kita bahas dari rainbow model assessment di atas. Namun pada intinya, melalui instrumen tes PRiADI ini kita bisa melihat apakah level dari karakter seseorang mengarah pada apa yang kita sebut sebagai ideal atau justru cenderung jauh dari ideal. Sama halnya seperti konsep Golden Mean milik Aristoteles maupun konsep Strength dari Martin Seligman yang berusaha menentukan sifat-sifat ideal karakter manusia.
Disclaimer: Namun yang perlu dicatat dan dipahami oleh kita semua bahwa umumnya sangat sulit mencari manusia yang sempurna dan ideal secara holistik. Ketika seseorang memiliki salah satu kekuatan pada aspek psikologis tertentu maka umumnya memiliki kelemahan di sisi lain. Every strength has its corresponding weakness.
Need help?
Share This News