by Annas Baihaqi (PRiADI Certified Counselor)
Jika kita menelusuri informasi tentang psikologi di jagad maya pastinya akan menemukan banyak topik yang berkaitan dengan kesehatan mental atau gangguan mental seperti stres, kecemasan, skizofrenia, bipolar, depresi, ADHD, obsesif kompulsif, toxic relationship, self-healing, terapi dan istilah-istilah lainnya.
Istilah di atas boleh jadi sering kita temui ketika menelusuri informasi seputar dunia psikologi. Namun seolah sering mengandung istilah yang berkonotasi negatif seperti penyakit, masalah kejiwaan atau kelemahan tentang psikologis manusia. Belum lagi kalau kita membahas Dark Triad Personality.
Pertanyaannya, apakah psikologi hanya membahas seputar kejiwaan manusia yang bermasalah? Adakah sisi positif yang bisa dibahas dari psikologi manusia?
Tentu saja ada.
Selama kita masih bicara soal manusia maka topik psikologi selalu hadir menyertai eksistensi manusia itu sendiri. Dari yang mengandung konteks negatif (seperti gangguan, penyakit kejiwaan dan abnormal) hingga yang konteksnya positif ataupun netral. Tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya.
Baik mari kita flashback sejenak tentang sejarah dunia psikologi.
Source: Madness and insanity: A history of mental illness from evil spirits to modern medicine
Gambaran di atas adalah sebuah ilustrasi pada abad ke 18, ketika masalah kejiwaan yang dahulu dianggap sebagai gangguan roh jahat, kerasukan iblis, pengaruh sihir dan fenomena klenik lainnya oleh masyarakat Eropa dan Amerika lalu mendapat perhatian serius dalam dunia pengobatan modern. Kala itu perubahan cara pandang soal kejiwaan manusia mulai terjadi secara signifikan seiring peralihan abad kegelapan menuju renaissance dan reformasi. Dimana masalah perilaku atau kejiwaan mulai masuk dalam daftar penelitian kedokteran dan patologi medis.
Sekitar abad ke 18 s/d 20 telah lahir beberapa rumah sakit besar untuk menangani berbagai masalah kejiwaan kala itu. Tidak hanya itu, pada abad ke 20 dunia psikiatri dan psikologi telah melahirkan nama-nama besar seperti Wilhelm Wundt, Sigmund Freud, C.G Jung, Ivan Pavlov, dan masih banyak lainnya yang membuka pemahaman lebih dalam tentang persoalan gangguan mental. Terlebih pada masa itu adalah pasca Perang Dunia II yang menimbulkan trauma mendalam untuk sebagian besar masyarakat maka kebutuhan soal pemahaman dan perawatan gangguan mental sangatlah besar.
Tak bisa dipungkiri pada abad itu topik psikologi lebih didominasi oleh berbagai permasalahan kejiwaan atau masalah klinis seperti PTSD (post-traumatic stress disorder), kecemasan, depresi, perilaku adiksi, dan masih banyak lainnya. Sehingga pembicaraan terkait psikologi lebih berfokus pada gangguan mental.
Seiring perubahan zaman ketika memasuki revolusi industri yang lebih tinggi menuju abad 21, mulai terjadi perluasan cara pandang tentang dunia psikologi. Dimana persoalan tentang kejiwaan manusia tidak bisa sepenuhnya hanya didasarkan pada apa yang salah atau cacat tentang manusia itu sendiri. Banyak kritik terhadap paradigma kesehatan mental di masa itu. Kritikus mulai merasa bahwa fokus yang terlalu besar pada penyakit jiwa justru mengabaikan potensi manusia untuk berkembang dan meraih kesejahteraan. Mengapa psikologi hanya berfokus pada apa yang salah, cacat atau abnormal tentang manusia sementara potensi positif dan kesejahteraan individu padahal juga layak untuk dipelajari?
Sehingga mulailah banyak penelitian ilmiah yang berfokus pada pemberdayaan, kesejahteraan, upaya meraih kebahagiaan individu dan mempelajari faktor apa yang membuat kehidupan seseorang lebih bermakna.
Salah satunya adalah dengan munculnya paradigma baru dalam dunia psikologi yang disebut sebagai Positive Psychology.
Manusia berhak untuk tahu potensi unggul mengenai dirinya, berhak untuk bisa memberdayakannya dan berhak untuk mengaktualisasikannya kepada kehidupan sekitar. Sehingga diharapkan kehidupannya dapat lebih bermakna. Itulah inti dari psikologi positif. Berfokus pada kekuatan dibandingkan hanya kelemahan.
Kelahiran Psikologi Positif
Lahirnya psikologi positif pada akhir abad 20 sebetulnya mengikuti kelahiran paradigma sebelumnya yaitu psikologi humanistik dimana pendekatan humanistik menekankan pada potensi seseorang untuk bertumbuh, pemenuhan diri, dan mengaktualisasikan dirinya. Manusia memiliki kehendak, kebebasan, dan kemandirian untuk mencapai potensi pribadinya. Tidak selalu terkekang dan dibatasi oleh kekurangan. Dan kala itu tokoh yang paling terkenal dan dianggap sebagai bapak psikologi positif tak lain adalah Martin Seligman.
Ia mendorong banyak ilmuwan sosial untuk melahirkan karya-karya, penelitian, praktik bagaimana cara meningkatkan aspek-aspek positif dari kehidupan manusia, seperti menemukan kebahagiaan, kesejahteraan, keunggulan, dan makna hidup. Disinilah psikologi mulai menemukan benang merah terhadap aspek spiritualitas manusia.
Setelah beberapa tahun mempelajari serangkaian analisa psikologis, sosiologis, lintas budaya, filsafat moral dan berbagai tradisi keagamaan, Martin Seligman bersama rekannya melahirkan sebuah buku yang berjudul Character strengths and virtues: A handbook and classification. Sebuah buku panduan yang mengklasifikasikan kekuatan dan kebajikan dari karakter positif manusia. Seperti halnya mungkin kita mengenal konsep tujuh dosa besar & tujuh kebajikan surgawi dalam sebuah tradisi agama. Dalam bukunya tersebut ia mengklasifikan terdapat 6 aspek besar kebajikan yang sifatnya universal, diikuti oleh 24 karakteristik kekuatan positif. Seperti yang bisa kita lihat pada gambar dan keterangan berikut:
Source : Character Strengths (Peterson & Seligman, 2004)
Kebijaksanaan dan Pengetahuan (wisdom and knowledge) diikuti oleh 5 kekuatan:
Rasa cinta untuk belajar
Membuka perspektif
Kritis dan pikiran terbuka
Orisinalitas
Rasa keingintahuan
Kemanusiaan (humanity) diikuti oleh 3 kekuatan:
Cinta
Kemurahan hati
Kecerdasan sosial
Keadilan (justice) diikuti oleh 3 kekuatan:
Kerjasama
Jiwa kepemimpinan
Rasa keadilan
Kesederhanaan (temperance) diikuti oleh 4 kekuatan:
Kerendahan hati
Penuh pertimbangan
Sifat Memaafkan
Pengendalian diri
Transendensi (transcendence) diikuti oleh 5 kekuatan:
Apresiasi terhadap keindahan dan keunggulan
Rasa syukur
Humor
Harapan dan optimisme
Spiritualitas
Keteguhan hati (courage) diikuti oleh 4 kekuatan:
Semangat dan antusiasme
Keberanian
Kejujuran
Ketekunan
Hadirnya konsep nilai-nilai kebajikan dalam buku tersebut mendorong para praktisi untuk menerapkannya ke dalam berbagai program pengembangan individu seperti pendidikan karakter, peningkatan kesejahteraan psikologis, pelatihan kepemimpinan, peningkatan hubungan interpersonal dan berbagai treatment pengembangan sumber daya manusia lainnya.
Menurut Seligman dengan mengembangkan aspek kebajikan dan kekuatan unik yang kita miliki akan membantu kita mudah mengalami tiga kebahagiaan diri: The pleasant life (kehidupan yang menyenangkan), The good life (kehidupan yang baik), dan The meaningful life (kehidupan yang bermakna).
Lantas apakah sejak lahir kita memiliki bekal atau bakat mengenai nilai-nilai kebajikan ini? Apakah setiap individu dilahirkan dengan memiliki kualitas yang sama sejak awal?
Untuk itu PRiADI mencoba membantu kebutuhan setiap individu mengenali potensinya masing-masing. Setiap individu dinilai memiliki bakat dan potensi yang berbeda-beda bahkan sejak awal kelahiran kita ke dunia ini. Sehingga upaya menggali potensi diri (self-discovery) adalah upaya yang baik untuk memupuk potensi terkuat yang mampu kita raih.
Strength & Weakness - Laporan Tes PRiADI
PRiADI hadir untuk mengungkapkan potensi kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness) kita masing-masing. Misalkan kemampuan analitik dan rasionalitas yang tinggi pada hasil tes kita membuat kita memiliki karakter cinta untuk belajar dan rasa keingintahuan yang tinggi terhadap dunia sekitar. Kapasitas artistik kita yang tinggi akan menguatkan rasa terhadap orisinalitas dan daya kreatif yang unggul sekaligus apreasiasi pada keindahan dan estetika. Keinginan kita yang tinggi untuk bersosialisasi dan dekat dengan orang lain akan menguatkan kecenderungan kita bersikap ramah pada orang lain, keinginan bekerjasama serta memiliki kecerdasan sosial yang lebih baik.
Ketahanan emosi yang tinggi akan membuat kita mampu memiliki pengendalian diri, tidak cepat gegabah merespon sesuatu. Begitu pula pengambilan keputusan yang lebih hati-hati akan membuat kita mampu berpikir jangka panjang dan lebih mempertimbangkan banyak sisi. Kecenderungan kita bersikap santai (easygoing) saat direndahkan ditambah keinginan berkonflik yang rendah membuat kita lebih gampang untuk move on dan memaafkan perlakuan orang lain. Memiliki sikap tegas diikuti keinginan untuk bekerjasama membuat kita memiliki kualitas kepemimpinan yang lebih baik. Keinginan menyebarkan keceriaan (positivity) kepada orang sekitar membuat kita punya rasa humor dan optimisme yang lebih tinggi.
Ambisi terhadap pencapaian yang biasa saja atau bahkan rendah justru membuat kita memiliki rasa syukur yang lebih dalam. Sementara keinginan kita untuk menyelesaikan tugas dan lebih ngotot meraih sesuatu akan membuat kita dinilai rajin dan tekun menuntaskan sesuatu yang kita anggap penting. Dan masih banyak kelebihan-kelebihan (strength) lainnya yang bisa kita lihat pada tes PRiADI. Hal ini tentu berpengaruh pada kekuatan positif atau nilai kebajikan yang sebetulnya sudah diwariskan potensinya sejak awal.
Sejak lahir setiap orang memiliki potensi nilai kebajikan dan kekuatan yang berbeda-beda. Begitu pula dengan kelemahannya sehingga setiap orang akan diberikan saran pengembangan yang belum tentu sama. PRiADI mencoba membantu untuk menggali itu semua. Potensi kebajikan berdasarkan fitrahnya dan kelemahan yang perlu kita antisipasi sepanjang kita menjalani hidup. Hal itu bertujuan agar kita menjadi pribadi yang lebih baik dan bisa mencapai lebih banyak nilai kebajikan. Hingga pada titik kita mengalami proses kehidupan yang jauh lebih bermakna. Amin.
Need help?
Share This News